Ebrahim Raisi Presiden Iran pada Selasa (20/9/2022) mengatakan, negaranya membutuhkan jaminan yang meyakinkan serta penutupan penyelidikan yang sedang dilakukan oleh Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) terhadap negara republik Islam tersebut sebelum perjanjian nuklir dapat disepakati.
Raisi menyampaikan, hal tersebut dalam pertemuannya dengan Emmanuel Macron Presiden Prancis di sela-sela Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.
Menurutnya, Iran siap menyepakati perjanjian nuklir yang adil dan stabil, tetapi mengingat penarikan diri sepihak yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dari perjanjian nuklir 2015, tuntutan Iran untuk mendapatkan jaminan yang meyakinkan sepenuhnya masuk akal dan logis.
Seperti yang dilansir Antara, Rabu (21/9/2022), Raisi menjelaskan bahwa penyelidikan IAEA menjadi hambatan serius untuk mencapai perjanjian.
Ia mengatakan, peningkatan hubungan Iran dengan Eropa tergantung pada independensi negara-negara di Benua Biru dan opini Amerika Serikat.
Perundingan tentang pengaktifan kembali Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)/Rencana Aksi Komprehensif Bersama yang dimulai pada April 2021 di Wina, tetapi tertunda pada Maret tahun ini karena perbedaan politik antara Teheran dan Washington. Putaran terbaru perundingan nuklir diadakan di ibu kota Austria pada awal Agustus tahun ini.
Sebelumnya, pada 8 Agustus, Uni Eropa (UE) mengusulkan teks akhir dari draf keputusan pengaktifan kembali JCPOA. Iran dan AS kemudian saling bertukar pandangan secara tidak langsung terkait proposal UE itu dalam proses yang sejauh ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
IAEA baru-baru ini menekankan kembali bahwa Teheran belum memberikan penjelasan yang secara teknis kredibel tentang partikel uranium yang ditemukan di tiga lokasi yang tidak disebutkan. (ant/des)